Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Hutan tinggal Mimpi

Oleh. Syamsul Marlin


Lima belas tahun yang lalu, Kakek mengajak saya masuk hutan Bukit Teranga, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Waktu itu, hari minggu kami diajak menelusuri anak sungai Bonecilla untuk sampai ke sumber mata air di hutan. Sambil berjalan, Kakek menjelaskan makna bunyi sahut-menyahut Monyet di atas pohon sebagai pertanda kenyangnya Monyet sehabis makan. Kakek mengajak saya menuju ke tempat ramainya Monyet bersahut-sahutan itu, lalu ia menunjuk pada sisa-sisa buah-buahan yang terbuang ke tanah oleh Monyet itu. Berkata Kakek, kalau Cucu tersesat di hutan dan menderita kelaparan, ikutilah bunyi Monyet lalu kenalilah sisa buah-buahan yang terbuang di tanah. Dan ketahuilah apa yang dimakan Monyet dan sejenisnya bisa pula dimakan oleh manusia, karena keadaan perut hewan ini serupa dengan perut manusia. Namun tidak begitu halnya dengan makanan burung. Apa yang di makan burung tidak cocok untuk perut manusia.
Sekarang ketika saya kembali ke tempat ini, betapa terkejutnya hati saya ketika menyaksikan kondisi kawasan hutan ini yang berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan, pertanian dan pemukiman penduduk. Penduduk yang semakin bertambah jumlahnya yang semula kecil dan sepi kini menjadi besar dan ramai dengan bermacam-macam alat canggih dan modern hiruk-pikuk menghalau kesunyian. Saya mencari hutan tempat mata kami menemukan kekuasaan dan kebesaran Illahi, namun sia-sia. Yang tampak adalah sisa-sisa dan puing-puing potongan kayu hingga tumpukan gergajian. Dan kepahitan mengisi hati ketika sebagian dari kenangan hidup terasa terpotong oleh rantai-rantai dari berbagai alat modern. Kepahitan yang tumbuh dalam hati inilah kembali terkuak ketika melihat truk-truk yang mengangkut kayu dan bambu tiap hari. Nah pertanyaan yang muncul adalah Sampai kapan Kayu berhenti diangkut?

Meskipun kita telah memiliki berbagai Undang-undang yang mengatur kehutanan dan senantiasa direvisi untuk disempurnakan sesuai dengan tuntutan zaman. Terlepas dari berbagai kelemahan dalam Undang-undang, yang paling merisaukan adalah pemikiran kita yang hanya menilai hutan dari segi harga kayu yang dihasilkannya dan nilai tanah yang ditutupinya. Hutan hanya diukur menurut alat kebijakan yang mencakup hanya dari segi ekonomi. Pada hal kita tidak merekam jasa ekologi lingkungan yang dihasilkan oleh hutan, berupa udara bersih, pencegah erosi dan banjir, penghasil mata air, dan sebagainya yang akan memperpanjang keberlangsungan kehidupan.
Berbagai usaha yang ditempuh untuk menutupi segala kebocoran yang kita timbulkan dalam dunia kehutanan sebagai bentuk partisipsi dalam penyelamatan bumi ini sangat beraneka ragam macamnya. Misalnya kebijakan pemerintah dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNR-HL) yang membutuhkan dana bermilyar-milyar Rupiah dalam setiap tahunnya, sumbangan negara-negara dunia kepada Negara penghasil Carbon, tindakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di dunia Lingkungan hidup, dll. Ini semua dalam tataran nasional dan internasional.
Tanggal 4 April lalu, berbagai lembaga kemahasiswaan melakukan aksi damai lingkungan sebagai bentuk partisipasi dalam memperingati hari bumi se-dunia. Di Universitas Hasanuddin misalnya ada yang memperingati hari bumi dengan cara seminar nasional, lomba foto tentang lingkungan, pembagian bibit, pembagian bunga, sosialisasi lewat orasi di jalan-jalan, serta pembagian stiker yang bertemakan perlindungan bumi.
Hal inilah yang dilakukan untuk menyelamatkan bumi baik individu maupun kelompok yang bergerak dalam pencinta alam dan lingkungan hidup. Mudah-mudahan hal ini adalah keikhlasan semata tanpa ada intervensi dari pihak siapa pun. Buktinya tidak ada semacam evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan. Hanya memperingati pada saat hari H-nya dan begitu 2-3 bulan hilang peringatan seperti itu hingga datang tanggal dan bulan yang sama dengan tahun yang berbeda dan diperingati kembali. Intinya tradisi tahunan

Saya ingat kata salah seorang Dosen Fakultas Kehutanan yang mengatakan bahwa seandainya semua yang telah dilakukan oleh individu maupun kelompok dalam hal penanaman itu berhasil, maka lautan di nusantara akan penuh dengan tanaman-tanaman. Hanya saja, semua penanaman yang dilakukan gagal alias tidak ada yang berhasil.
Menanam itu gampang kawan. Tetapi marilah kita menanam, merawat, menjaga dan menumbuhkan pohon dengan tangan sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar